Surat Dari Amerika 1

Membangun Budaya Politik Baru

Coen Husain Pontoh

TAK lama lagi, rakyat Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), akan menggelar hajatan politik besar bernama Pemilihan Umum Bupati. Ini adalah pesta politik pertama, di kabupaten yang baru itu.

Tentu saja, bermacam rasa bermunculan: senang, terharu, penuh harap, dan sedikit khawatir. Inilah untuk pertama kalinya, dalam sejarah, rakyat di wilayah itu memilih anak negerinya untuk menjadi pemimpin tertinggi. Sebelumnya, ketika daerah pesisir pantai utara itu masih menjadi bagian dari kabupaten Bolaang Mongondow, jabatan tertinggi paling banter adalah pembantu bupati. Jadi camat pun sudah bangga.

Bayangkan, akan ada orang Kaidipang, Bolang Itang, Bintauna. Sangkup, dan Sang Tombolang, yang akan jadi bupati, wakil bupati. Belum lagi, aparat di bawahnya, dari Eselon I hingga seterusnya. Sebelumnya, sudah ada yang jadi ketua dan wakil ketua DPRPD. Hebat sekali.

Dengan pesta politik pemilu ini, rakyat Bolmut akan memilih elite pemimpinnya yang baru. Dari berita yang ada, nama-nama kandidat tidak jauh dari mereka yang selama ini berperan besar dalam menyukseskan terbentuknya kabupaten baru ini. Misalnya, Karel Bangko, Christofel Irianto Buhang, Asripan Nani, Lexi Gobel, Amin Lasena, Depri Pontoh, Reba Pontoh, dsb. Ini hal yang wajar. Rakyat pun maklum, dan tidak keberatan jika mereka yang maju. Bahkan, jika ada muka baru, itu baru dianggap janggal.

"Itu orang datang dari mana sih? Kenapa baru kelihatan sekarang?"

Kerelaan warga untuk mendukung para kandidat ini, sepantasnya dibalas dengan benar oleh para kandidat tersebut. Sebagai elite baru, mereka harus memikirkan secara serius pembangunan budaya politik yang juga baru di Bolmut. Budaya politik baru itu adalah, solidaritas, empati, dan kejujuran.

Karena rakyat Bolmut itu sebagian besar miskin, maka para elite baru ini harus menunjukkan empatinya, dengan cara tidak memperkaya diri dan kalangan terdekatnya sendiri; yang prioritas itu bukanlah pengadaan mobil dinas tapi, pembangunan infrastuktur; karena daerah baru ini butuh sarana-prasarana, maka proyek pembangunannya janganlah di korupsi.

Bukan cerita asing, kalau banyak kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran, tidak menunjukkan perbedaan sama sekali dengan kabupaten induknya semula. Padahal, semangat dasar dari pemekaran itu adalah keinginan untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan di segala aspek.

Tetapi, begitu kabupaten baru itu terbentuk, maka mereka yang memperjuangkan pemekaran tersebut muncul sebagai elite baru yang tingkah-polahnya sama dengan elite di kabupaten induk; merasa paling berjasa; sama-sama korup; sama-sama mendahulukan kepentingan kelompok terdekatnya; sama-sama feodalnya, sama-sama bergaya sebagai pemimpin yang harus memperoleh fasilitas yang pantas, dsb.

Kalau budaya lama yang merusak ini juga menimpa para elite baru di Bolmut, percuma kita punya kabupaten baru.***

1 comments:

dr. taufiq pasiak said...

kun, ada kabar dari keluargamu di Boroko. Ibumu sakit dan merindukanmu (maaf, saya kabari di sini). Tak kutahu alamatmu.